Jika membahas masalah kejujuran
di negeri ini, ada banyak sekali tantangan dan hambatan yang harus dihadapi.
Sebagai masyarakat biasa, sering kali kita menuntut agar para penguasa dapat
bertindak dan berperilaku jujur. Namun, bagaimana dengan diri kita sendiri,
apakah kita sudah berperilaku jujur?
Dua hari yang lalu, saya
melintasi suatu jalan dengan kecepatan cukup cepat sehingga tidak terlalu
memperhatikan rambu-rambu lalu lintas. Ketika saya terus berjalan, ada seorang
petugas berwajib yang meminta saya untuk berhenti. Setelah mendengar penjelasan
polisi tersebut, saya baru menyadari bahwa jalan yang sedang saya lewati tidak
boleh dilalui oleh sepeda motor. Alhasil, kelalaian tersebut berdampak pada
surat tilang.
Dalam proses penilangan, selalu
saja ada godaan untuk bisa menyelesaikan masalah tersebut dengan cepat, salah
satunya dengan memberikan “uang damai”. Hal ini terlebih lagi ketika petugas
berwajib menjelaskan mengenai prosedur proses persidangan yang dilaksanakan di
hari jumat yaitu hari dimana saya masih harus bekerja seperti biasa. Sambil
membayangkan repotnya proses yang harus dilalui, keinginan untuk melanggar
norma kejujuran itu semakin tinggi. Dengan kondisi tersebut, saya semakin
membayangkan betapa sulitnya berprilaku jujur.
Pada kesempatan sebelumnya, saya
pernah 2 kali ditilang petugas berwajib karena melanggar peraturan lalu lintas.
Pada saat itu, saya memang menyadari bahwa saya sudah sering melanggar
peraturan lalu lintas dan kali ini memang lagi apesnya tertangkap pihak berwajib.
Dengan pemikiran egois, saya menyelesaikan kedua permasalahan ini dengan
memberikan uang damai. Hasilnya, ya, saya berhasil menyelesaikan permasalahan
tersebut dengan ketidakjujuran. Namun, setelah saya memberikan “uang damai”
untuk yang kedua kalinya, saya baru menyadari bahwa saya telah berkontribusi
untuk membangun budaya tidak jujur di lingkungan sosial. Sejak saat itu, saya
mencoba berkomitmen untuk berperilaku jujur dengan diawali dengan tidak
melanggar rambu-rambu lalu lintas.
Kembali pada cerita 2 hari yang
lalu, dengan berat hati akhirnya saya berhasil mengiyakan penyelesaian proses
pelanggaran lalu lintas ini melalui jalur “resmi” yaitu melewati tahapan
persidangan. Sejujurnya, saya juga masih belum bisa mengetahui apakah saya
bakal bisa mengikuti proses tersebut sebagaimana disyaratkan. Namun, setelah
proses ini, saya cukup lega bahwa setidaknya saya bisa untuk tidak
menyelesaikan permasalahan tersebut dengan cara yang tidak jujur.
Dari kondisi tersebut, saya
semakin menyadari bahwa cobaan untuk berperilaku jujur itu sangat besar. Bahkan
kita tidak jarang menghadapi tekanan dari pihak lain agar kita melanggar
ketentuan yang seharusnya dijalankan.
Dengan semakin besarnya tantangan
dan hambatan untuk berprilaku jujur kedepannya, maka perilaku tersebut harus
sudah dibiasakan mulai saat ini, mulai dari hal terkecil, dan terus konsisten.
Komentar
Posting Komentar
Test