Dalam beraktivitas
sehari-hari, kita perlu melakukan kontemplasi untuk mengetahui apakah yang kita
lakukan telah baik dan benar. Penggunaan istilah baik dan benar hingga saat ini
masih bersifat “subjektif” tergantung dari norma masyarakat, kepercayaan,
keyakinan, dan lain-lain. Dari segala subjektivitas tersebut, persepsi objektif
yang dapat kita lakukan adalah memastikan apa yang kita kerjakan dapat membuat
kita bahagia, dan bermanfaat bagi orang banyak. Untuk mencapai tujuan tersebut,
maka ada 2 hal yang harus diperhatikan, yaitu Proses dan Hasil.
Memaksimalkan Proses
Apakah kita sudah
memaksimalkan potensi yang kita miliki saat ini? Sepertinya hampir sebagian
besar kita belum memaksimalkannya dengan baik. Berdasarkan penelitian, otak
kita baru difungsikan lebih kurang 5% dari potensi maksimalnya. Jika kita
pernah menyaksikan film “Lucy”, khayalan sang sutradara menggambarkan bahwa
jika kemampuan otak kita bisa dioptimalkan sampai 100% kita bahkan bisa
mengendalikan waktu, mengendalikan seluruh peralatan gadget elektronik,
mengendalikan metabolism tubuh, dan khayalan-khayalan lainnya. Walaupun ini
hanya bagian dari imajinasi sang sutradara dan mungkin bersifat hiperbola,
setidaknya kita sedikit mendapatkan gambaran mengenai betapa besar potensi yang
ditimbulkan dari optimasi otak yang kita miliki.
Selain dari aspek kemampuan
otak yang kita miliki, kapasitas tubuh kita secara umum seharusnya juga masih
bisa dioptimalkan lebih baik dibandingkan yang kita lakukan saat ini. Beberapa
hari yang lalu, saya sempat mendengarkan siraman rohani yang diadakan dikantor,
kapan dikatakan bahwa upaya kita maksimal? Seorang guru mengajak muridnya
berlari mengitari suatu lapangan. Setelah melewati beberapa putaran,
satu per satu murid mulai berhenti untuk berlari karena rasa capek yang
dialami. Meskipun sang guru juga merasakan hal yang sama, ia tetap melanjutkan
untuk mengitari lapangan tersebut. Setelah beberapa saat, sang guru akhirnya
kehabisan tenaga dan jatuh pingsan. Pada saat siuman, sang guru
mengatakan bahwa itulah yang dinamakan usaha maksimal. Apakah upaya tersebut
dapat dikatakan hal yang ekstrem? Sepertinya itu memang hal yang ekstrem. Tapi
pelajaran yang ingin disampaikan adalah bahwa kita sering kali mensetting
target yang kita anggap maksimal pada titik yang masih jauh dari proses
maksimal yang seharusnya. Jika seandainya kondisi sang guru saat jatuh pingsan
menunjukkan usaha senilai “100”, maka setidaknya kita bisa melakukan sampai
target 80. Namun saat ini, kita sering kali mengatur target yang rendah, yaitu
hanya 70. Sehingga pada saat realisasi, pencapaian bisa lebih rendah
dibandingkan target, yaitu hanya mencapai 60.
Menyikapi Hasil
Setelah melalui proses,
hal yang tidak kalah penting adalah menyikapi hasil yang diperoleh dari proses
tersebut. Hal terbaik yang dapat kita lakukan terhadap hasil yang diperoleh
adalah bersyukur dan tidak berpuas diri. Dalam kehidupan sehari-hari, beberapa
dari kita berlindung dibalik istilah bersyukur untuk mengamini kemalasan kita
dalam berupaya lebih baik lagi. Bersyukur merupakan bentuk terima kasih kita
atas kenikmatan yang kita telah dapatkan. Sedangkan sikap tidak berpuas diri
merupakan upaya kita untuk memperbaiki apa yang salah dari hal-hal yang telah
kita lakukan dan berusahan untuk meningkatkan kemampuan yang dimiliki.
Bersyukur merupakan
salah satu cara agar kita bisa mendapatkan kebahagiaan baik di dunia maupun
diakhirat. Secara sederhana, ini merupakan hal yang positif. Namun demikian,
apa yang kita lakukan seharusnya bisa lebih baik daripada bersyukur.
Jika kita bisa
mengerjakan dengan kuantifikasi nilai usaha 100, namun kita hanya mengerjakan
dengan nilai 40, maka dengan bersyukur, maka kita sudah cukup bahagia dengan
hasil yang kita peroleh. Namun demikian, hidup bukan hanya berkaitan dengan
bagaimana menjadikan diri bahagia, tetapi juga mengenai kontribusi apa yang “SEHARUSNYA”
bisa kita berikan kepada orang lain. Jika kita kita bisa memaksimalkan usaha
sampai 100, tentu apa yang kita lakukan akan berdampak kepada orang banyak.
Contoh yang dapat kita
lihat adalah bagaimana menyikapi kekayaan (contoh harta bukan karena nilai
harus bersifat material, namun lebih untuk mencontohkan sesuatu yang bersifat
kuantitatif). Jika kita bisa meningkatkan laba perusahaan yang kita miliki
sampai 100 Miliyar per bulan, maka akan sangat disayangkan jika
merealisasikannya hanya sampai 40 miliyar dengan alasan sudah merasa cukup
dengan laba yang diperoleh saat ini. Padahal, dengan laba 100 miliyar, tentu
akan lebih banyak pajak yang bisa dibayarkan, sehingga dapat dikelola negara
untuk kesejahteraan masyarakat.
Dari seluruh penjelasan
di atas, dapat disimpulkan bahwa untuk mendapatkan kebahagiaan dan melakukan
kebaikan secara efektif dan efisien, maka hal yang perlu dilakukan adalah
memperbaiki cara “memaksimalkan proses” dan “menyikapi hasil”.
Disclaimer: Makna syukur
masih didasarkan hanya pada pengertian yang disajikan Kamus Besar Bahasa
Indonesia, belum mencakup makna syukur yang seharusnya berdasarkan pendalaman
ilmu keislaman.
Komentar
Posting Komentar
Test