
Beriringan dengan keinginan
membantu si bos untuk membelikan buku, pada tanggal 2-6 september 2015,
diselenggarakan International Indonesia Book Fair di Jakarta Design Center.
Secara keseluruhan, acara ini menarik walaupun sebenarnya tidak banyak hal baru atau yang special dari book fair ini. Setiap book fair selalu diisi dengan deretan stand dari banyak penerbit buku dan diselingi dengan beberapa panggung kecil untuk menghadirkan beberapa penulis buku-buku terkenal.
Secara keseluruhan, acara ini menarik walaupun sebenarnya tidak banyak hal baru atau yang special dari book fair ini. Setiap book fair selalu diisi dengan deretan stand dari banyak penerbit buku dan diselingi dengan beberapa panggung kecil untuk menghadirkan beberapa penulis buku-buku terkenal.
Pada salah satu panggung, terdengar
suara cempreng seorang penulis buku yang sedang sharing mengenai pengalamannya.
Ternyata suara tidak berbanding lurus dengan bagusnya tulisan yang ia buat. Penulis
tersebut adalah Tere Liya. Gw sih belum familiar dengan namanya walaupun
setelah mendengar sharingnya, ternyata ia termasuk salah satu penulis yang
cukup produktif. Karena dalam setahun, minimal ia bisa menerbitkan 2-3 novel.
Salah satu penyampaian menarik
yang bisa gw ingat adalah ketika dia mendefinisikan arti penulis yang baik.
Menurutnya, penulis yang baik adalah penulis yang terus menulis meskipun gak
ada yang baca dan gak ada yang suka. Ia menulis karena memang dia suka menulis.
Gw suka dengan pengertian itu walaupun disertai dengan beberapa catatan. Jika
hobi tetap seidealisme hobi, maka karya adalah nomor satu. Sedangkan jika hobi
harus berbagi kepentingan dengan pemasukan, maka karya haruslah dapat diterima
pasar.
Setelah mengikuti talkshow
tersebut sampai selesai, akhirnya gw juga terlarut dalam kombinasi marketing
yang diselenggarakan oleh panitia. Alhasil, salah satu buku dari Tere Liye yang
berjudul “Negeri di Ujung Tanduk” masuk dalam kantong belanjaan.

Komentar
Posting Komentar
Test