Sebelum melanjutkan membaca
tulisan ini, disclaimer yang ingin gw
sampaikan adalah bahwa gw bukan orang yang memiliki pengetahuan sangat baik
dalam agama islam. Jadi, tulisan ini murni opini Pribadi, bukan hasil kajian
agama secara mendalam, apalagi ijtihad.
He3, serta sudah pasti tidak bisa dijadikan dasar untuk bertindak layaknya
fatwa MUI. He3. So, tulisan ini akan
berujung pada open discussion jika
tidak sependapat.
Mendekati akhir tahun seperti ini,
semua (lebih tepatnya sebagian besar) orang akan bersiap menyambut perubahan
tahun kalender masehi. Orang-orang yang lagi kerja di kantor, sudah pada
berharap akan pulang setengah hari. Penjual petasan akan siap-siap menaikkan
harga ke level tertinggi. Penjual arang dan jagung bakar akan mulai menemani
penjual petasan di pinggir-pinggir jalan. Artis-artis siap meninggalkan
perayaan tahun bersama keluarga agar bisa mentas di panggung dengan bayaran
yang lebih berlipat (sempat nguping dikit acara gossip). Pak polisi lagi
sibuk-sibuknya mulai mengatur lalu lintas termasuk menutup sebagian besar jalan
utama. Sebagian remaja alay lagi ngambek dirumah karena dilarang ortu nya
supaya gak ikut ngerayain. Sebagian kecil ngerayain pergantian tahun dengan
aktivitas yang lebih religi seperti tilawah. Sebagian kecil sama sekali tidak
merayakan pergantian tahun.
Dari semua hiruk pikuk menjelang
malam pergantian tahun ini, sebagian kecil umat muslim mengingatkan kepada umat
muslimnya untuk sebaiknya tidak ikut merayakan malam pergantian tahun masehi
ini. Beberapa alasannya adalah bahwa ini bukan budaya islam, ini merupakan tradisi
yang dilakukan oleh Julius Caesar untuk menyembah Dewa Janus, tradisi yang
dekat dengan kemaksiatan karena identik dengan mabuk-mabukan, narkoba, seks
bebas, dan lainnya.
Dari semua alasan tersebut,
akhirnya gw mencoba mengklasifikasika permasalahannya menjadi 2. Pertama, makna
dari pergantian tahun masehi dan kedua, cara merayakan pergantian tahun. Mari
kita lanjutkan dengan pembahasan pertama. Dalam menghitung tahun, ada 2
pendekatan yang bisa dilakukan yaitu berdasarkan perputaran bulan dan yang
kedua adalah berdasarkan perputaran matahari. Perhitungan berdasarkan
perputaran bulan lebih sering disebut dengan tahun hijriyah sedangkan
perhitungan tahun berdasarkan perputaran matahari lebih sering disebut dengan
tahun masehi. Jika dilihat dari sejarahnya, perhitungan tahun hijriyah dimulai
dari ketika Rasulullah melakukan hijrah dari Mekkah ke Madinah. Sedangkan tahun
Masehi dihitung mulai dari kelahiran
yesus (Detail sejarah bisa dibrowsing secara terpisah). Meskipun awal perhitungan
kedua metode ini diidentikkan dengan kedua tokoh (Penggunaan istilah tokoh
untuk menetralkan tedensi perbedaan penyebutan nabi dan tuhan) dari agama yang
berbeda, namun bukan berarti masing-masing tahun tersebut hanya boleh digunakan
oleh agama tertentu. Karena keberadaan kedua metode perhitungan diakui
eksistensi cara perhitungannya secara ilmiah. Selain itu, kedua metode memiliki
keunggulan masing-masing. Dengan demikian, diperjelas kembali bahwa keberadaan
tahun tersebut sebenarnya tidak bisa mendikotomikan agama-agama tertentu.
Dalam islam, kedua metode
perhitungan tahun tersebut di atas diakomodir melalui ilmu Falak dengan
penyebutan syamsiyah untuk tahun masehi dan Qamariyah untuk tahun hijriyah.
“Dialah yang menjadikan matahari
bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkanNya manzilah-manzilah
(tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan
tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu
melainkan dengan hak, dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaranNya) kepada
orang-orang yang mengetahui” (QS Yunus; 5).
“Dia menyingsingkan pagi dan
menjadikan malam untuk beristrahat, dan (menjadikan) matahari dan bulan untuk
perhitungan. Itulah ketentuan Allah yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui” (QS
Al An’am: 95)
Dari Surah di atas, maka dapat
disimpulkan adalah bahwa baik tahun masehi maupun tahun hijriyah boleh
digunakan.
Selanjutnya, jika kedua tahun
baru di atas diakui dalam islam, apakah boleh merayakan tahun baru masehi?
Dengan kejelasan di atas, maka seharusnya tidak ada hal yang perlu
dipermasalahkan dengan konsep perayaan tahun baru. Karena saat tahun baru
hijriyah, umat islam juga merayakannya walaupun dengan konsep perayaan yang
berbeda. Perbedaan konsep perayaan ini kemudian menjadi pembahasan yang kedua.
Saya sependapat jika perayaan
tahun baru masehi sering dieksekusi dengan hal-hal yang menyimpang dari agama
Islam, misalnya seks dan mabuk-mabukan. Tapi gw juga meyakini bahwa (Cuma
keyakinan, tanpa dasar statistik) sebagian besar juga melaksanakan dengan tidak
melanggar kaidah agama Islam. Dengan demikian, jika kita ingin membuat perayaan
ini lebih syariah, maka yang perlu diedukasi adalah mengenai cara perayaannya,
dan bukan menghimbau untuk tidak merayakannya.
Jadi kesimpulannya adalah, setiap
orang silahkan merayakan pergantian tahun dan gw sendiri justru
merekomendasikan pergantian tahun itu sendiri. Saya merekomendasikan hal
tersebut dengan catatan bahwa cara merayakannya sesuai dengan kaidah islam.
Misalnya membaca doa akhir dan awal tahun. Hal ini menjadi penting karena
mengawali dan mengakhiri sesuatu dengan hal yang baik merupakan sesuatu yang
dianjurkan. Cara-cara seperti ini pada akhirnya menjadi sarana kita untuk mengedukasi
setidaknya mulai dari keluarga terdekat mengenai konsep pergantian tahun dan
cara merayakannya.
*Penulis masih belum memiliki pemahaman agama yang sangat baik, jadi sekali lagi ditegaskan bahwa penulis terbuka atas segala masukan dan pendapat.He3
Komentar
Posting Komentar
Test