Pada bulan maret 2015, Majalah fortune kembali merilis 50 pemimpin
terbaik dunia untuk tahun 2015. Pemimpin-pemimpin terbaik ini muncul dari berbagai
macam latar belakang yang diantaranya adalah eksekutif perusahaan bisnis,
presiden negara, pemimpin keagamaan, pelaku seni, pemimpin aktivis mahasiswa,
Rektor, kepemimpinan dalam olahraga, dan yang cukup membanggakan Indonesia
yaitu Walikota Surabaya, Tri Rismaharini. Penghargaan ini diberikan kepada
orang-orang yang berhasil melakukan transformasi terhadap berbagai hal dari
yang mereka pimpin. Dampak dari transformasi tersebut tentunya bukan hanya
bermanfaat bagi pemimpin itu sendiri atau orang-orang yang mereka pimpin, tapi
juga menjadi inspirasi bagi masyarakat dunia.
Apakah penting untuk menjadi pemimpin hebat? Artikel ini tidak
membahas banyak mengenai alasan masing-masing individu untuk menjadi hebat,
baik yang bertujuan untuk benar-benar memberikan kontribusi sampai alasan hanya
untuk mendapakan sorotan masyarakat dan menjadi celebrity leaders. Jika mengutip pemahaman Jim Collin, pemimpin
yang hebat muncul dari perilaku yang bisa memadukan kerendahan hati dan juga
kemauan bekerja keras. Pemahaman ini juga pada akhirnya terimplementasi melalui
karakter pemimpin yang lebih senang melihat pencapaian hasil yang memuaskan
sebagai hasil dari kerja keras tim dan bukan sebagai kontribusi perseorangan.
Bagaimana untuk menjadi
hebat? Saat ini sudah banyak referensi yang menyampaikan mengenai cara-cara
menjadi pemimpin hebat. Kajian-kajian ilmiah hingga training yang berkonsepkan pengembangan diri sudah cukup familiar
untuk digunakan untuk meningkatkan kemampuan kepemimpinan. Perkembangan ilmu
kepemimpinan ini pada akhirnya berbuah cukup manis dengan meningkatnya
kemampuan kepemimpinan orang.
Tanpa meragukan pentingnya mengimplementasikan ilmu-ilmu pengembangan
diri di atas, tak bisa dipungkiri juga bahwa pencapaian seseorang juga
dipengaruhi oleh bakat yang ia miliki. Menurut Munandar (1992) bakat merupakan kemampuan bawaan
sebagai potensi yang masih perlu dikembangkan dan dilatih agar dapat terwujud. Dari pengertian ini, dapat kita ketahui bahwa
hal penting yang perlu dimiliki untuk menghasilkan pencapaian yang luar biasa
adalah kemampuan bawaan itu sendiri.
Menurut
Conny Semiawan (1987), bakat khusus (talent)
adalah kemampuan bawaan berupa potensi khusus dan jika memperoleh kesempatan
berkembang dengan baik, akan muncul sebagai kemampuan khusus dalam bidang
tertentu sesuai potensinya. Jenis-jenis bakat khusus dapat dikateogrikan
menjadi 1) Bakat Akademik khusus, misalnya bakat untuk bekerja dalam
angka-angka dan logika bahasa, 2) Bakat Kreatif, misalnya dalam menghasilkan rancangan
arsitektur baru, 3) Bakat Seni, misalnya dalam menciptakan musik yang harmoni,
4) Bakat Kinestetik/Psikomotorik, misalnya bakat dalam olahraga, dan 5) Bakat
Sosial, misalnya mahir berkomunikasi dan mahir dalam kepemimpinan.
Dari penjelasan tersebut, maka kita dapat melihat
bahwa kepemimpinan juga merupakan suatu bakat yang menjadi bawaan dari
seseorang. Namun demikian, dengan memperhatikan urgensi dari kemampuan dalam
kepemimpinan bidang apapun saat ini, kemampuan kepemimpinan menjadi suatu
keharusan tanpa perlu memperhatikan apakah kita berbakat dalam hal tersebut
atau tidak.
Dengan melihat kepemimpinan sebagai suatu bakat,
maka akan muncul pertanyaan selanjutnya, apakah seorang dengan bakat
kepemimpinan menyadari bakat mereka tersebut? Terdapat 40% orang yang belum
menyadari bakat yang mereka miliki saat ini. Data ini cukup memprihatinkan,
karena pada dasarnya, dengan mengetahui bakat masing-masing, tentu kita akan
lebih mudah untuk melakukan eksploitasi dan eksplorasinya sehingga
mengahasilkan sesuatu yang lebih baik.
Jika membandingkan dengan 4 (empat bakat) lainnya,
bakat sosial ini seharusnya menjadi sesuatu yang lebih sulit dikenali di
masyarakat. Pada bakat akademik, peranan pendidikan formal yang dominan dengan
kegiatan akademik telah dilibatkan terhadap anak-anak sejak berusia +/- 6
tahun. Selain itu, dalam pendidikan formal, aktivitas yang berkaitan dengan psikomotorik
juga cukup terimplementasi dalam mata pelajaran olahraga. Kemudian, dengan
memperhatikan pentingnya keseimbangan otak kanan dan otak kiri, telah banyak
orang tua yang mulai menyeimbangkan aktivitas anak dengan hal-hal yang
berkaitan dengan seni. Aktivitas-aktivitas ini kemudian menjadi mudah untuk
bahan evaluasi terhadap bidang apa yang menjadi bakat seorang anak.
Untuk mengenali bakat kepemimpinan, tentunya ini
menjadi tantangan tersendiri. Masih dalam fase anak-anak, bakat ini mungkin
bisa terlihat sebagai embrio ketika terlibat dalam kegiatan organisasi
kesiswaan. Organisasi kesiswaan pertama yang muncul pada umumnya adalah saat
berada di bangku Sekolah Menengah Pertamaa (SMP) melalui Organisasi Siswa Intra
Sekolah (OSIS). Selain itu, sebagai orang yang paling dekat dengan anak,
keberadaan orang tua dalam lingkungan keluarga seharusnya mampu menciptakan
kondisi yang dapat membuat mereka melihat bakat sosial anak. Contoh dari hal
yang sederhana adalah melalui kultur keterbukaan dalam memberikan dan menerima
pendapat di dalam keluarga.
Saat memasuki masa pendidikan di Perguruan Tinggi,
pentingnya kepemimpinan telah menjadi perhatian Pemerintah. Melalui Dikti,
aspek kepemimpinan yang direpresentasikan melalui kegiatan organisasi menjadi
suatu penyeimbang kemampuan akademik agar dapat dikategorikan sebagai mahasiswa
berprestasi.
Sebelum memasuki usia dewasa, tentu pengenalan
bakat seseorang sangat erat kaitannya dengan peranan orang tua. Namun pada saat
sudah memasuki usia dewasa, masing-masing orang secara tidak langsung dituntut
mampu mengenali apa yang paling mereka butuhkan dan inginkan. Namun apakah
tuntutan independesi ini serta merta membuat seseorang mengenali bakat
kepemimpinan yang dimiliki?
Banyaknya aktivitas-aktivitas yang erat kaitannya
dengan keorganisasian baik formal maupun informal seharusnya menjadi sarana
yang dapat mempermudah setiap individu untuk melihat apakah bakat mereka
sejalan dengan aktivitas tersebut. Selain itu, sarana untuk mengetahui bakat
yang kita miliki sebenarnya telah tersedia melalui berbagai macam Aptitude Assessment. Namun dengan berbagai alasan dan penjelasan mulai dari kesadaran individu hingga biaya
yang diperlukan, akhirnya asesmen ini tetap belum digunakan oleh semua orang. Tidak
sedikit orang yang baru menjalani aptitude assessment saat mereka sedang
menjalani proses seleksi mencari kerja. Bagi perusahaan yang sedang mencari
suksesor terbaik, mereka akan memfasilitasi dan bahkan mengharuskan pegawainya
mengikuti asesmen ini. Dengan demikian, mereka akan mengetahui bakat kepemimpinan
yang dimiliki seseorang sejak dini.
Dengan mengetahui bakat kepemimpinan yang dimiliki
oleh seseorang, maka penentuan development
yang tepat akan menjadi faktor penting. Bakat yang tidak dilatih atau tidak
dikembangkan dengan pendekatan yang tepat tentu tidak akan menghasilkan
pencapaian yang maksimal. Jika orang-orang berbakat ini terus dioptimalkan
melalui pengembangan yang tepat, tentu akan banyak transformasi yang dapat
dilakukan untuk kebaikan masyarakat.
Bagaimana dengan orang-orang yang tidak memiliki bakat dalam kepemimpinan? Ketiadaan bakat bukan berarti menghambat pencapaian yang hebat. Ketiadaan bakat ini harus digantikan oleh kerja keras pengebangan diri yang lebih baik.
Komentar
Posting Komentar
Test