Untuk mengimbangi laju perubahan
di dunia ini, topik inovasi menjadi sesuatu yang sangat penting. Dalam ilmu
manajemen, inovasi merupakan salah satu variabel besar yang masih terlalu
general untuk digunakan dalam membangun model penelitian. Pembahasan mengenai
inovasi pun harus dispesifikasikan lebih detil lagi misalnya dalam product innovation, process Innovation, open
innovation, dan lain-lain.
Kembali membumi ke dalam praktik
sehari-hari, perusahaan sering mulai memprioritaskan inovasi sebagai bagian
penting agar dapat sustain mengikuti
perkembangan zaman. Bukan hal yang baru ketika kita melihat review majalah-majalah bisnis dan
mengetahui bahwa beberapa perusahaan besar mulai berjatuhan jika mereka hanya
menyandarkan proses bisnisnya pada tangible asset yang dimiliki dan belum
terlalu memprioritaskan proses inovasi dalam business modelnya. Dengan memperhatikan pentingnya inovasi itu
sendiri, pertanyaan selanjutnya yang muncul adalah mengenai seberapa besar
keinginan kita untuk menumbuhkan kemampuan berinovasi tersebut.
Beberapa perusahaan saat ini
mulai lebih sering terlihat pada pelaksanaan lomba inovasi dll baik dilakukan
secara internal maupun yang melibatkan pihak eksternal. Apakah ini merupakan
cara yang efektif? Sebenarnya masih cukup sulit untuk menentukan indikator
dalam mengukur efektivitas suatu budaya inovasi. Namun demikian, setidaknya ini
merupakan tahap awal bagi suatu perusahaan untuk membangun awareness mengenai urgensi dari suatu inovasi. Menurut gw pribadi,
inovasi yang telah diwujudkan dalam output suatu perlombaan merupakan bagian
akhir dari upaya membangun budaya inovasi itu sendiri.
Sebelum melanjutkan pembahasan,
tentu kita telah mengetahui bahwa inovasi akan beririsan dengan kreativitas.
Perbedaan keduanya adalah terletak pada nilai ekonomis yang dihasilkan. Inovasi
merupakan kreativitas yang telah diproses sehingga memiliki nilai ekonomis.
Inovasi atau kreativitas
sebenarnya hal yang sudah berkaitan erat dengan bagaimana seseorang melihat
sesuatu dengan cara yang berbeda. Jika ditelusuri dari pepatah nenek moyang
kita, sebenarnya setiap manusia itu sudah terlahir unik dan gw yakin keunikan
itu akan berujung dengan cara pandang yang berbeda. “Rambut sama hitam, darah
sama merah, tapi pemikiran, belum tentu sama”. Yuppp… I am definitely deal with it.
Apa yang terjadi kemudian adalah
keunikan yang kita bawa sejak lahir mulai dipangkas oleh standarisasi yang
dilakukan oleh lingkungan. Hal yang sederhana muncul mulai dari lingkungan
terkecil adalah bahwa jika kita ingin sukses maka kita harus menyelesaikan
sekolah yang tinggi dengan baik. Apakah ini salah? Gak. Tapi hal ini sering
kali mulai membangun cara pandang bahwa sekolah menjadi media yang terbaik
sehingga cara selain sekolah menjadi kurang populer. Contoh
lainnya adalah beberapa lingkungan sekolah masih sering kurang membuka wawasan
siswanya dalam melihat cita-cita yang tinggi. Seringkali terbangun konsep bahwa
cita-cita yang prestisius itu diantaranya hanya terbatas pada dokter, pilot, dan lain-lain.
Beranjak dari lingkungan sekolah
menuju usia yang lebih dewasa, masih ada beberapa dari kita yang belum
menghargai perbedaan itu sendiri. Gw sendiri termasuk salah satu yang harus
mulai belajar menerima perbedaan. Contoh sederhana adalah dari pengalaman gw ketika
memantau miniatur masyarakat yang besar melalui social media, maka akan terlihat beberapa orang yang terlihat anomaly
(anomali juga tentu hal yang subjektif). Misalnya dilingkungan kerja seperti
ini, masih ada orang yang masih menggunakan nama sosial medianya dengan
nama-nama alay, cowo yang suka ngepost poto-poto selfienya, atau masih terasa
aneh ketika melihat cowo ngefans banget sama artist korea. Dengan menyadari
pentingnya perbedaan dalam membangun kreativitas melalui hal-hal sederhana, akhirnya
gw mulai belajar menerima ini. Pada akhirnya gw berfikir, perpaduan lingkungan
dewasa digabungkan dengan beberapa pemikiran anak-anak alay mungkin akan
menghasilkan cara pandang yang baru.
Selain dari lingkungan sebagai
faktor eksternal, hambatan dalam berinovasi juga dipengaruhi oleh faktor-faktor
internal dalam diri sendiri. Jika kita menjalani masa sekolah atau perkuliahan,
sering kali kita belum terlalu percaya diri dengan cara pandang kita dalam
mengerjakan sesuatu. Contoh sederhana adalah ketika kita mengerjakan tugas yang
diberikan oleh pengajar, sering kali kita masih ragu apakah tugas yang kita
kerjakan akan sesuai dengan keinginan pengajar. Berbeda dengan ilmu eksak yang identik
dengan cara-cara yang sudah jelas rumus, aturan, maupun ketentuan lainnya, tugas-tugas ilmu sosial tentu lebih fleksibel dalam pengerjaannya. Kondisinya
adalah ketika kita mendapatkan tugas dari pengajar, maka kita belum mengerjakan
apa-apa ketika sebelum melihat contoh pengerjaan tugas tersebut oleh seseorang
yang kita anggap lebih pintar. Pada akhirnya, cara berfikir kita terhadap tugas
tersebut akan secara tidak langsung terbatasi oleh framework cara pandang orang lain. Ketika teman kita mengerjakan
dengan pola A, B, C, D maka berikutnya kita akan mencoba mengerjakan dengan
cara yang berbeda, yaitu dengan pola E, F, G, H. Meskipun berbeda, tapi
sebenarnya kita telah terjebak dalam framework
alphabet dari teman kita tersebut. Padahal tugas tersebut masih memungkinkan
dikerjakan dalam pola berbeda misalnya dengan pola numeric, 1, 2, 3, 4.
Dengan memperhatikan penjelasan
di atas, upaya mempertahankan cara pandang yang berbeda merupakan awal yang
penting untuk menanamkan bibit pemikiran kreatif setiap individu. Namun
demikian, apakah terdapat dampak negatif dari upaya ini? Akan dibahas pada
artikel berikutnya.
Komentar
Posting Komentar
Test